Analisis Perbandingan Struktur Fisik dan Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya W.S.Rendra dengan Puisi “Lautan” karya Rustam Efendi
DAFTAR ISI
created by: Roselyn Nainggolan
ABSTRAK
NAINGGOLAN, ROSELYN :
Analisis Perbandingan Struktur Batin dan Struktur Fisik Puisi “Lautan” Karya W.S.Rendra dengan Puisi
“Lautan” karya Rustam Effendi.
Puisi
sebagai salah satu bentuk karya sastra diciptakan sesuai dengan unsur-unsurnya.
Sehubungan dengan judul penelitian ini, peneliti berusaha memahami perbedaan
dan persamaan kedua puisi tersebut di atas. Kedua puisi tersebut memiliki judul
yang sama dengan pengarang yang berbeda. Adapun yang diteliti dalam penelitian
ini adalah struktur fisik puisi yang terdiri dari : disi, imajinasi, kata
konkret, bahasa figuratif, versifikasi, tipografi, dan struktur batin yang
terdiri dari : tema, rasa, nada, dan amanat.
Karya
sastra seperti puisi, mengandung banyak pesan yang ingin disampaikan penngarang
kepada masyarakat pembaca atau penikmat, sehingga dalam menuangkan idenya
pengarang berusaha menggunakan bahasa-bahasa yang menarik perhatian sekaligus
merangsang pembaca untuk lebih memahami puisi tersebut. Sehubungan dengan itu,
melalui penelitian ini peneliti mencoba melihat persamaan dan perbedaan puisi
“Lautan” karya W.S.Rendra dengan puisi “Lautan” karya Rustam Effendi.
Unsur-unsur yang diteliti adalah struktur fisik dan struktur batinnya seperti
yang tesebut diatas.
Untuk
menganalisi puisi tersebut, peneliti menggunakan metode deskriptif analisis.
Data diperoleh dengan cara membaca puisi “Lautan” karya W.S.Rendra dengan puisi
“Lautan” karya Rustam Effendi secara berulang-ulang kemudian mendeskripsikan hasil
analisis yang dilakukan, yakni analisis struktur batin dan struktur fisik puisi
tersebut.
Setelah
diteliti, ternyata ada persamaan dan perbedaan struktur batin dan struktur
fisik yang terdapat di dalam kedua-dua puisi tersebut.
Melalui
analisis struktur fisik dan struktur batin puisi “Lautan” karya W.S.Rendra
dengan puisi “Lautan” karya Rustam Effendi, disampaikan kepada masyarakat
pembaca agar dapat menghayati dan menghargai hasil karya sastra serta mampu
mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut
khususnya puisi dalam kehidupan yang lebih baik.
Pematangsiantar, 2012
Dra. Roselyn Nainggolan, M. Pd
DAFTAR ISI
ABSTRAK...............................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah..........................................................................................1
1.2
Masalah
Penelitian...................................................................................................4
1.3
Rumusan
Masalah....................................................................................................5
1.4
Tujuan
Penelitian.....................................................................................................6
1.5
Manfaat
Penelitian...................................................................................................7
1.6
Asumsi
Penelitian....................................................................................................8
BAB II LANDASAN TEORITIS
2.1 Pengertian Apresiasi
Sastra.......................................................................................9
2.2 Pengertian
Puisi.......................................................................................................11
2.3 Struktur yang
membangun Puisi.............................................................................12
2.3.1
Struktur Fisik............................................................................................14
2.3.2
Struktur Batin...........................................................................................31
2.4 Riwayat Hidup
Pengarang.......................................................................................34
2.4.1
Riwayat Hidup W. S. Rendra...................................................................34
2.4.2
Riwayat Hidup Rustam Efendi.................................................................35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode
Penelitian....................................................................................................37
3.2 Pengumpulan
Data..................................................................................................38
3.3 Pengolahan
Data......................................................................................................38
3.4 Sumber
Penelitian...................................................................................................39
BAB IV PEMBAHASAN
4.1
Analisis Srtuktur Fisik dan Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya W. S. Rendra...........................................................................................................................40
4.1.1
Analisis Struktur Global Puisi “Lautan” Karya W. S.
Rendra...............................................................................................................41
4.2.2
Analisis Struktur Fisik Puisi “Lautan” Karya W. S.
Rendra...............................................................................................................43
4.1.3
Analisis Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya W. S.
Rendra...............................................................................................................52
4.2
Analisis Struktur Fisik dan Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya Rustam
Efendi............................................................................................................................55
4.2.1
Analisis Struktur Global Puisi “Lautan” Karya Rustam Efendi................................................................................................................56
4.2.2
Analisis Struktur Fisik Puisi “Lautan” Karya Rustam
Efendi................................................................................................................57
4.2.3
Analisis Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya
Rustam
Efendi................................................................................................................64
4.3
Analisis Perbandingan Struktur Fisik dan Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya W.
S. Rendra dengan Puisi “Lautan” Karya Rustam
Efendi..............................................66
4.3.1
Persamaan Struktur Fisik dan Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya W. S. Rendra
dengan Puisi “Lautan” Karya Rustam
Efendi.....................................66
4.3.2
Perbedaan Struktur Fisik dan Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya W. S.Rendra
dengan Puisi “Lautan” Karya Rustam
Efendi...................................67
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1
Simpulan.................................................................................................................69
5.2
Saran.......................................................................................................................72
DAFTAR
PUSTAKA...........................................................................................................................73
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Bahasa
adalah salah satu alat komunikasi yang sangat penting untuk menyampaikan
pikiran atau gagasan antar sesama anggota masyarakat. Komunikasi melalui bahasa
membuat membuat setiap orang untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya,
mengungkapkan apa yang dilihat, dialami dan dirasakannya kepada orang lain.
Disamping itu, melalui bahasa seseorang dapat juga menyelidiki, mempelajari,
dan memahami adat istiadat, ekonomi, teknologi, politik dan sosial budaya.
Bahasa
adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan
perbuatan. Dari cara berbicara seseorang dapat kita mengetahui latar belakang
pendidikan, pergaulan, adat istiadat dan budayanya. Semua gejolak kemanusiaan
yang ada dalam kehidupannya diutarakan kepada orang lain dengan menggunakan
bahasa, baik dalam komunikasi sehari – hari maupun dalam bentuk sastra yang
pada akhirnya menghasilkan karya sastra.
Karya
sastra sebagai salah satu produk budaya, menggunakan bahasa sebagai alat untuk
menyampaikan gagasan atau ide yang terkandung di dalamnya, diciptakan oleh
pengarang untuk mencerminkan masyarakat sesuai kehidupan masyarakat dengan
kebudayaannya. Dengan demikian, jika kita dapat mempelajari dan memahami segala
hasil karya sastra, maka kita dapat mempelajari dan memahami masyrakatnya. Hal
ini didukung dengan pendapat Jakob Sumarjo (1979:30 ) menyatakan : “Sastra
merupakan produk suatu masyarakat yang mencerminkan masyarakatnya, dimana
obsesi masyarakat menjadi obsesi pengarang yang merupakan salah satu anggota
masyarakat. Dengan demikian, mempelajari sastra dapat mempelajari masyarakat
karena sastra bukan kenyataan sosial yang mengalami proses pengolahan pengarang
sebab pengarang melahirkan karyanya karena ingin memperbaiki kesalahan –
kesalahan.
Dari
kutipan di atas dapat dikatakan bahwa karya sastra itu jelas merupakan hasil
cipta yang lahir dari masyarakat sekaligus memberikan gambaran masyarakat itu
sendiri. Hal ini dapat dipahami karena pengarangnya adalah orang yang lahir,
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat untuk memberikan aksi dan reaksi
terhadap peristiwa atau pernyataan sosial yang terjadi disekelilingnya, baik
secara individu maupun secara menyeluruh.
Puisi
sebagai salah satu bentuk karya sastra mengandung banyak pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada masyarakat pembaca atau penikmat, sehingga dalam
menuangkan idenya pengaran berusaha menggunakan bahasa – bahasa yang dapat
menarik perhatian sekaligus merangsang pembaca untuk lebih memahami puisi
tersebut dan mengaplikasikan nilai – nilai yang bermakna dalam kehidupannya.
Pada
hakekatnya puisi berfungsi untuk mengungkapkan pengalaman yang penting karena
puisi lebih terpusat dan terorganisir. Fungsi tersebut bukanlah menerangkan
sejumlah pengalaman, tetapi membiarkan pembaca untuk terlibat secara imajinatif
dalam pengalaman tersebut.
Menurut
Waluyo, sebuah puisi dibangun dari dua segi yakni : segi intrinsik yang disebut
dengan struktur batin, dan segi ekstrinsik disebut juga struktur fisik.
Struktur batin puisi menyangkut unsur tema (sense), feeling (rasa), tone
(nada), dan intention (amanat). Sedangkan struktur fisik menyangkut unsur
diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif, versifikasi dan tipografi
(1991:28).
Pengalaman
penulis bahwa puisi merupakan salah satu bahan ajar yang perlu digeluti di
bangku sekolah mulai dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi. Oleh karena
itu,untuk menigkatkan minat dan menambah wawasan bagi para pembaca serta
memperdalam ilmunya tentang puisi, dengan mengkaji struktur fisik dan struktur
batinnya. Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius, sebagai salah satu
usaha pembinaan sikap para pembaca dan pengembangan sastra Indonesia yang
merupakan aset budaya nasional.
Berdasarkan
uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang
puisi, secara khusus puisi “Lautan” karya W.S. Rendra dengan puisi “Lautan”
karya Rustam Efendi. Bila dperhatikan kedua puisi tersebut mengandung banyak
pesan yang inggin disampaikan pengarang kepada para pembacanya.Kedua puisi itu
mempunyai judul yang sama yaitu “Lautan” tetapi pengarangnya masing – masing
mempunyai sudut pandang yang berbeda.
Penilis
juga ingin melihat bagaimana perbandingan kedua puisi tersebut dari struktur
fisik dan struktur batinnya. Hal ini mendoronng penulis untuk melakukan
penelitian dengan memperbandingkan kedua puisi tersebut dari struktur fisik dan
struktur batinnya. Sehingga penulis menyimpulkan judul yang akan diteliti
adalah “Analisis Perbandingan Struktur
Fisik dan Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya W.S.Rendra dengan Puisi “Lautan”
karya Rustam Efendi.”
1.2
Masalah
Penelitian
Suatu
penelitian timbul karena ada masalah, sedangkan masalah muncul apabila ada
kesenjangan antara yang semestinya ada dengan yang ada pada kenyataan. Masalah
tersebut muncul dari berbagai aspek kehidupan. Masalah penelitian tersebut
tidak boleh terlalu luas dan tidak boleh terlalu sempit. Dengan demikian
masalah penelitian perlu dibatasi agar pembicaraan dapat terarah, terperinci
dan dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh
karena itu mengingat banyaknya karya – karya sastra yang dihasilkan oleh W.S.
Rendra dan Rustam Efendi yang memiliki permasalahan yang berbeda – beda,
sekaligus dengan kemampuan penulis yang masih terbatas, maka penulis tidak
membicarakan secara menyeluruh, melainkan membatasi permasalahan khusus karya
sastra yang berbentuk puisi. Dari sekian banyak puisi tersebut penulis hanya
membicarakan satu puisi dari masing – masing hasil karya pengarang. Sedangkan
bahan kajiannya dilakukan dengan penekanan kepada analisis perbandingan
struktur fisik dan struktur batin dari kedua puisi tersebut.
1.3
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah merupakan langkah yang sangat penting dan harus dilakukan dalam suatu
tulisan ilmiah. Nazir (1988:33) menyatakan, “Perumusan masalah merupakan hulu
penelitian, dan merupakan langkah yang penting dan pekerjaan sulit dalam
penelitian ilmiah”.
Dengan
demikian, permasalahan penelitian yang dilakukan terhadap penelitian ini perlu
dirumuskan. Adapun rumusan yang dimaksud dapat diperhatikan dalam bentuk
pernyataan sebagai berikut : “Bagaimana perbandingan struktur fisik dan
struktur batin puisi “Lautan” karya W.S. Rendra dengan puisi “Lautan” karya
Rustam Efendi”?. Rumusan masalah ini dapat diperinci menjadi hal yang lebih
khusus menjadi :
1. Bagaimanakah
struktur fisik dan struktur batin puisi “Lautan” karya W.S. Rendra ?
2. Bagaimanakah
struktur fisik dan struktur batin puisi “Lautan” karya Rustam Efendi ?
3. Bagaimanakah
persamaan struktur fisik dan struktur batin puisi “Lautan” karya W.S.Rendra
dengan Rustam Efendi ?
4. Bagaimanakah
perbedaan struktur fisik dan struktur batin puisi “Lautan” karya W.S. Rendra
dengan Rustam Efendi ?
1.4
Tujuan
Penelitian
Setiap
orang yang melakukan pekerjaan pasti ada tujuannya. Demikian juga halnya dengan
penelitian ini mempunyai tujuan tertentu.”Tujuan penelitian sangat besar pengaruhnya
terhadap komponen atau elemen penelitian lainnya terutama metode, teknik, alat
maupun generalisasi yang diperoleh. Oleh karena itu, ketajaman seseorang dalam
merumuskan tujuan penelitian akan dilaksanakan, karena tujuan penelitian pada
dasarnya merupakan titik anjak dan titik tujuan yang akan dicapai seseorang
melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya”(Ali, 1982:9).
Sehubungan
dengan itu, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui struktur fisik dan struktur batin puisi “Lautan” karya W.S. Rendra.
2. Untuk
mengetahui struktur fisik dan struktur batin puisi “Lautan” karya Rustam
Efendi.
3. Untuk
mengetahui persamaan struktur fisik dan struktur batin puisi “Lautan” karya
W.S. Rendra dengan puisi “Lautan” karya Rustam Efendi.
4. Untuk
mengetahui perbedaan struktur fisik dan struktur batin puisi “Lautan” karya
W.S. Rendra dengan puisi “Lautan” karya Rustam Efendi.
1.5
Manfaat
Penelitian
Sesuai
dengan tujuan penelitian yang telah diungkapkan di atas, maka manfaat
penelitian ini adalah :
1. Dapat
memperdalam dan memperluas pengetahuan penulis tentang masalah yang diteliti.
2. Sebagai
bahan informasi bagi guru – guru yang mengajarkan Bahasa Indonesia khusunya
pengajaran apresiasi puisi di sekolah – sekolah.
3. Mendukung
teori yang menyatakan bahwa kemampuan analisis puisi akan tercermin dari
keseringan mahasiswa menggauli puisi – puisi.
4. Menjadi
salah satu sumber penelitian ilmiah, bila suatu saat dilakukan penelitian yang
ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
1.6
Asumsi
Penelitian
Asumsi
penelitian merupakan anggapan dasar yang menjadi titik tolak penelitian yang
tidak perlu diragukan lagi kebenarannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Winarno
Surakhmad dalam Suharsimi (1989:55) yang menyatakan : “Asumsi merupakan titik
tolak pemikiran yang kebenarannya diterima oleh penyelidik”.
Sehubungan
dengan pendapat di atas, maka asumsi atau anggapan dasar dalam penelitian ini
bahwa puisi “Lautan” karya W.S. Rendra dan puisi “Lautan” karya Rustam Efendi
dibangun dari dua segi yakni struktur fisik dan struktur batin, dan terdapat
persamaan serta perbedaan di dalamnya.
BAB
II
LANDASAN
TEORITIS
2.1 Pengertian Apresiasi Sastra
Sebelum
memahami pengertian Apresiasi Sastra lebih jauh perlu diketahui bahwa kata
Apresiasi berasal dari bahasa Inggris yakni “To Appreciation” yang artinya
penghargaan. Ditinjau dari etimologinya, istilah apresiasi berasal dari bahasa
Latin “Apreciatio” yang berarti mengindahkan atau menghargai.
Untuk memperoleh pengertian yang
lebih jelas, penulis mengutip pendapat para ahli. Menurut Poerwadarminta
(1976:55), dalam bukunya “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, bahwa apreisiasi
adalah penilaian baik penghargaan misalnya pada karya sastra dan seni. Demikian
juga Natawijaya (1980:1) dalam bukunya “Apresiasi Sastra dan Budaya”,
menyatakan, “Apresiasi adalah penghargaan dan pemahaman atas suatu hasil seni
atau budaya”. Michael Philip West, MA dalam Natawijaya (1982:1) yang
menyatakan, “Apreciation is judge the value of feel that a thing is good
understand in what way it is good” (Apresiasi adalah menimbang suatu nilai,
merasakan bahwa benda itu baik dan mengerti mengapa baik)”. Sedangkan S.
Effendi (1974:18) juga mengemukakan, “Apresiasi Sastra adalah kegiatan
menggauli cipta sastra dengan sungguh – sungguh, sehingga tumbuh pengertian,
penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan terhadap cipta
sastra”. Menurut H.G. Tarigan (1984:233) menyatakan, “Apresiasi adalah
penafsiran kualitas karya sastra serta pemberian yang wajar kepadanya
berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang jelas, sadar serta kritis.”
Dari pendapat para ahli tersebut di
atas dapat dismpulkan bahwa apresiasi sastra adalah kepekaan penjiwaan batin
terhadap nilai – nilai karya sastra sehingga pembaca mengenal, menafsirkan,
menghayati serta dapat menikmati nilai – nilai karya sastra tersebut melalui
apresiasi sastra.
Kemampuan untuk menghargai atau
menilai hasil karya sastra adalah suatu wujud kemampuan untuk mengapresiasi
karya sastra. Seseorang yang mempunyai kemampuan mengapresiasi sastra biasanya
peka pikiran kritis dan perasaan yang baik. Ia senang membaca cerita, senang membicarakannya,
dan senang mendengar cerita. Hal ini merupakan perilaku nyata yang biasanya
diperlihatkan oleh masyarakat, maupun seseorang yang peka pikiran kritisnya dan
peka perasaanya terhadap karya sastra.
Jika seseorang telah mampu
mengapresiasi hasil karya sastra, maka pengarang mampu mengambil nilai – nilai
yang terkandung dalam puisi tersebut serta mampu mengaplikasinkannya dalam
kehidupan sehari – hari. Karena melalui karya sastra pengarang dapat
menyampaikan sikap, pendapat dan pengalamannya kepada orang lain atau kepada
pembaca dan peminat sastra.
2.1 Pengertian Puisi
Secara
etimologis istilah puisi dari bahasa Yunani “Poesis” yang berarti penciptaan
atau pembuatan. Dalam Bahasa Inggris disebut dengan “Poem” atau”Poetry”, yang
berarti “Membuat” atau “Pembuatan”. Hal ini dikatakan karena melalui puisi pada
dasrnya seorang telah menciptakan dunia tersendiri yang mungkin berisi pesan
atau gambaran suasana tertentu, abik fisik maupun batinnya.
Menurut Waluyo (1991:25) “Puisi
adalah bentuk karya sastra yang mengungkapakan pikiran atau perasaan penyair
secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa
dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya”.
Hudson dan Aminuddin (1991:134)
menyatakan, “Puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata – kata
sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya
lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan
pelukisnya”. Pengertian ini dapat dipahami karena memang seorang sering kali
diajak oleh suatu ilusi tentang keindahan terbawa dalam suatu angan – angan,
sejalan dengan keindahan penataan unsur bunyi, pencipta gagasan, maupun suasana
tertentu sewaktu membaca puisi.
Selain itu Herbert Spencer dalam
Waluyo (1991:23) menyatakan “Puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan
yang penuh daya yang berpangkal pada emosi yang berpacu kembali dalam
kedamaian”. Sedangkan Shelly dalam Waluyo (1991:23) berpendapat, “Puisi adalah
rekaman dari saat- saat yang paling baik dan paling menyenangkan”.
Perlu disadari bahwa rumusan tentang
puisi cukup banyak. Hal ini terjadi karena begitu banyaknya ragam puisi
sehingga rumusan pengertian tentang puisi untuk salah satu bentuk puisi dapat
sesuai, tetapi bila diterapkan untuk bentuk puisi yang lain belum tentu sesuai.
Oleh karena itu, seringkali menemukan kesulitan bila diminta untuk menjelaskan
pengertian puisi. Namun demikian dari sejumlah pendapat para ahli di atas,
penulis menarik kesimpulan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang
diekspresikan dari pengalaman hidup seseorang yang mengungkapkan pikiran dan
perasaan penyair.
2.3 Struktur yang membangun Puisi
Puisi
dibangun oleh dua unsur pokok, yakni struktur fisik yang berupa bahasa yang digunakan
dan struktur batin dan struktur makna. Kedua unsur ini disebut struktur karena
teridiri atas unsur – unsur yang lebih kecil yang bersama – sama membangun
kesatuan sebagai struktur dan saling jalin – menjalin secara fungsional.
Waluyo (1991:28) “Struktur batin
puisi terdiri atas tema, nada, perasaan dan amanat. Sedangkan struktur fisik
puisi terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, majas, versifikasi, dan
tipografi puisi. Majas terdiri atas lambang dan kiasan sedangkan versifikasi
terdiri atas rima, ritma, dan metrum”.
Menurut Richard, puisi itu dibangun
oleh dua unsur yaitu hakekat dan metode. Unsur hakekat itu terdiri dari : (1)
Tema atau arti(Sense), (2) Rasa (Feeling), (3) Nada (Tone), (4) Amanat
(Intention). Dan unsur metode itu terdiri dari : (1) Diksi (Diction), (2) Imajinasi
(Imagenary), (3) Bahasa Figuratif (Figuratif Language), (4) Kata Konkret (The
Concret Word), (5) Rima dan Ritme .
Lebih lanjut Dick Hartoko
menyebutkan unsur – unsur yang lazim dimasukkan ke dalam metode puisi, yaitu
yang disebut versifikasi(dalamnya ada rima, ritma dan metrum) dan tipografi.
Tipografi puisi ini perlu dimasukkan dalam unsur puisi karena penyair mempunyai
maksud tertentu dalam memilih tipografi puisinya (Waluyo, 1995:27).
Bila diamati dari beberapa pendapat
ahli di atas, mereka mempunyai banyak persamaan, hanya sedikit saja
perbedaannya yang terdapat pada struktur fisik yaitu tipografi (Tata wajah).
Hal ini disebabkan cara pandang mereka yang sedikit berbeda yaitu bentuk
penulisan puisi itu sendiri.
Bertitik tolak dari pendapat para
ahli di atas, penulis lebih cenderung pada unsur – unsur puisi yang terdiri
daridua bagian yaitu struktur fisik puisi dan struktur batin puisi. Adapun
struktur fisik puisi meliputi : (1) Diksi (Diction), (2) Imajinasi (Imagenary),
(3) Kata Konkret (The Concret Word), (4) Bahasa Figuratif (Figuratif Language),
(5) Versifikasi, (6) Tata Wajah (Tipografi). Struktur batin terdiri atas : (1)
Tema atau arti(Sense), (2) Rasa (Feeling), (3) Nada (Tone), (4) Amanat
(Intention).
Semua unsur – unsur yang disebutkan di
atas merupakan suatu kesatuan karena setiap unsur berhubungan satu sama lain
dalam membentuk puisi yang mempunyai makna. Untuk lebih memahami struktur puisi
di atas, penulis akan menguraikannya satu persatu.
1.
Struktur
Fisik
Unsur – unsur bentuk atau struktur fisik
puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik yang membangun
struktur luar dari puisi. Unsur – unsur itu dapat ditelaah satu persatu, tetapi
unsur – unsur itu merupakan kesatuan yang utuh. Unsur – unsur tersebut yakni :
A.
Diksi
(Diction)
Diksi (Diction) berarti Pilihan Kata (Tarigan
1984:29). Jika dipandang sepintas lalu kata – kata yang dipergunakan dalam
kehidupan sehari – hari. Walaupun demikian haruslah disadari bahwa penempatan
serta penggunaan kata – kata dalam puisi dilakukan secara hati – hati dan
teliti serta lebih tepat. Kata – kata yang dipergunakan dalam dunia persajakan
tidak seluruhnya bergantung pada makna denotatif, tetapi lebih cenderung pada
makna konotatif. Hal ini sejalan dengan pendapat Situmorang (1981:19) bahwa :
“Diksi adalah pilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan
secermat dan seteliti mungkin”.
Dalam memilih kata – kata puisi, penyair harus
mempertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata
tersebut di tengah – tengah kontekas kata lain, serta kedudukan kata dalam
kesekuruhan puisi. Di samping itu, penyair perlu memilih kata – kata yang
tepat, juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari
kata – kata tersebut.
Mengingat begitu pentingnya pemilihan kata dalam
puisi sekaligus mempertinbangkan berbagai aspek estetis, maka kata – kata yang
sudah dipilih oleh penyair untuk puisi bersifat absolut dan tidak bisa diganti
dengan padanan katanya, sekalipun maknanya tidak berbeda. Bahkan, sekalipun
unsur bunyinya hampi mirip dan maknanya sama, kata yang sudah dipilih tidak
boleh diganti.
Sebagai contoh :
Kalau sampai waktuku/ Ku mau tak seorang kan merayu
(Doa, Chairil Anwar)
Kata – kata dalam baris itu tidak
boleh dibolak – balik menjadi :
Kalau sampai saatku/ ku ingin tak seorang
kan membujuk
Penggantian
urutan kata dan penggantian kata – kata akan merusak konstruksi puisi itu
sehingga kehilangan gaya gaib yang ada dalam puisi.
B.
Imajinasi
atau Daya Bayang (Imagery)
Waluyo (1981:78) menyatakan “Pengimajian adalah kata
atau susunan kata – kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti
penglihatan, pendengaran dan perasaan”. Sementara Tarigan (1984:30) menyatakan,
“Imajinasi atau imagery yaitu segala yang dirasai atau dialami secara
imajinatif”.
Semua penyair ingin menyuguhkan pengalaman batin
yang pernah dialaminya kepada para penikmat karyanya. Salah satu usaha untuk
memenuhi keinginan tersebut ialah dengan pemilihan serta penggunaan kata – kata
yang tepat itu dapat memperkuat serta memperjelas daya bayang pikiran pembaca,
dan energi tersebut dapat pula mendorong imajinasi atau daya bayang kita untuk
menjelmakan gambaran yang nyata. Hal ini didukung oleh Supriadi (1993:351)
menyatakan, “Imagery atau daya bayang adalah suatu kata atau kelompok kata yang
digunakan untuk menggunakan kembali kesan – kesan panca indra dalam jiwa kita
”.
Dalam karyanya, sang penyair berusaha sekuat daya
agar para penikmat dapat melihat, merasakan, mendengar, menyentuh bahkan
mengalami segala sesuatu yang terdapat dalam puisinya. Melalui pengimajian, apa
yang digambarkan seolah – olah dapat dilihat (Imaji Visual), didengar (Imaji
Auditif), atau dirasa (Imaji Taktil) (Waluyo 2003:10).
-
Imaji Visual (Imaji Penglihatan)
menampilkan kata atau kata – kata yang menyebabkan apa yang digambarkan penyair
seperti dapat dilihat oleh pembaca.
Contoh
:
..............
Tuhanku
Aku
hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku
mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di
pintuMu aku mengetuk
Aku
tidak bisa berpaling
(Doa,
Chairil Anwar)
-
Imaji Auditif (Pendengaran) adalah
penciptaan ungkapan oleh penyair, sehingga pembaca seolah – olah mendengarkan
suara seperti yang digambarkan oleh penyair.
Contoh
:
Ia
dengar kepak sayap kelelawar dan gugur sisa hujan dari daun
Karena angin
pada kemuning. Ia dengar resah kuda serat
Langkah pedati.
Ketika langit bersih menampakkan bima sakti
................
(Asmaradana,
Gunawan Muhammad)
-
Imaji Taktil (Perasaan) adalah
penciptaan ungkapan oleh penyair yang mampu mempengaruhi perasaan sehingga
pembaca ikut terpengaruh perasaannya.
Contoh
:
...............
Tiada
lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir
semenanjung, masih pengap harap
Sekali
tiba diujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekat
(Senja
Di Pelabuhan Kecil : Chairil Anwar)
C.
Kata
Konkret (The Concrete Word)
Menurut Waluyo (1981: 81), “Kata konkret
adalah kata – kata yang dapat menyaran kepada arti yang menyeluruh”. Hal itu
senada dengan Tarigan (1984:31-32) menyatakan : “Kata konkret atau kata nyata
adalah kata konkret dan khusus, bukan kata yang abstrak dan bersifat umum”.
Salah satu cara pengarang untuk
membangkitkan imajinasi atau daya bayang para pembaca puisi adalah dengan
mempergunakan kata – kata yang tepat, kata – kata yang kokret, yang dapat
meyarankan suatu pengertian yang menyeluruh. Semakin tepat seorang penyair
menempatkan kata – kata yang penuh asosiasi dalam karyanya, maka semakin baik
pula ia menjelmakan imajinasi, sehingga para pembaca menganggap bahwa menganggap
bahwa mereka benar – benar mengalami segala sesuatu yang dialami sang penyair.
Contoh :
.............
Dengan kuku-kuku besi, kuda menebah perut bumi
Bulan
berkhianat, gosokkan tubuhnya pada pucuk – pucuk para
Mengipit
kuat – kuat lutut penunggang perampok yang diburu
Surai
bau keringat basah, jenautipun telanjang
(Balada
Terbunuhnya Atmokarpo : W.S. Rendra)
-
Kuku
besi mengkonkretkan dari kaki kuda yang bersepatu besi.
-
Perut
bumi mengkonkretkan dari kuda menapaki jalan yang tidak
beraspal.
-
Penunggang
perampok yang dibunuh mengkonkretkan dari Karpo sebagai
perampok yang naik kuda.
-
Surai
bau keringat basah mengkonkretkan dari perjalanan Atmokarpo
yang meletihkan.
D.
Bahasa
Figuratif (Figurative Language)
Waluyo (1991:83) berpendapat, “Bahasa Figuratif
ialah bahasa yang digunakan penyair untuk manyatakan sesuatu dengan cara tidak
langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasa yang digunakan adalah makna kias
atau makna lambang”. Selanjutnya Situmorang (1981:22) menyatakan, “Figuratif Language ialah cara yang dipergunakan penyair
untuk membangkitkan dan menciptakan imajinasi dengan mempergunakan gaya bahasa,
gaya perbandingan, gaya kiasan, gaya pelambang sehingga makin jelas makna atau
lukisan yang hendak dikemukakannya”.
Bhasa figuratif terdiri atas pengiasan yang
menimbulkan makna kias dan pelambangan yang menimbulkan makna lambang. Bhasa
figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna
atau kaya akan makna. Adapun makna yang dimaksud antara lain :
1. Makna
Kiasan (Gaya Bahasa)
Makna kiasan ialah cara seorang pengarang
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis
serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual
dan emosi pembaca (Keraf, 2004:114).
Tujuan penggunaan kiasan ialah untuk menciptakan
efek lebih kaya, lebih efektif dan lebih sugestif dalam bahasa puisi. Jenis
bagian kiasan yang dimaksud seperti : metafora (kiasan langsung),
personifikasi, hiperbola, ironi, eufemisme dan lain sebagainya.
2. Makna
Lambang (Pelambangan)
Yang dimaksud pelambangan adalah cara
atau perbuatan melambangkan. Seperti halnya kiasan, pelambangan digunakan
penyair untuk memperjelas makna dan membuat nada dan suasana sajak menjadi
lebih jelas sehingga dapat menggugah hati pembaca. Dalam puisi, banyak
digunakan pelambangan yaitu panggantian suatu hal atau penggantian benda dengan
hal serta tanda lain. Jenis – jenis lambang yang ada dalam puisi meliputi :
-
Lambang Benda adalah pelambangan yang
dilakukan dengan menggunakan lambang benda untuk menggantikan sesuatu yang
ingin diucapkan oleh penyair.
Contoh
: Bendera dilambangkan dengan identitas negara, bersalaman melambangkan
persahabatan, pertemuan, dan lain – lain.
-
Lambang Warna adalah pelambangan yang
dilakukan dengan menggunakan lambang warna untuk mengungkapkan perasaan
penyair. Lambang warna memberi makna tambahan pada warna untuk mengganti atau
menambah makna yang sesungguhnya.
Contoh
: Warna hitam melambangkan kesedihan, warna putih melambangkan kesucian.
-
Lambang Bunyi adalah makna khusus yang
diciptakan oleh bunyi – bunyi atau perpaduan bunyi – bunyi tertentu.
Contoh
:
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Meningat kau penuh seluruh
(Doa,
Chairil Anwar)
Penggalan
bunyi tersebut didominasi bunyi (u) yang disuguhkan dengan menggunakan vokal
berat yang melambangkan perasaan – perasaan kesedihan.
-
Lambang suasana adalah suatu keadan yang
tidak dituliskan seperti apa adanya, tetapi digambarkan dengan keadaan lain.
Contoh
:
Ku tulis surat ini
Kala hujan gerimis
Bagai bunyi tambur mainan
Anak pergi dunia yang gaib
Dan angin mendesah
Mengeluh dan mendesah
(Surat
Cinta : W.S. .Rendra)
Ungkapan
: -
Hujan gerimis melambangkan
suasana sedih (duka)
- Tambur mainan anak peri yang gaib melambangkan cintanya yang luar
biasa besarnya, bergema dan bergemuruh.
E. Versifikasi
Versifikasi
merupakan unsur pembentuk keindahan sebuah puisi, membaca sebuah puisi pertama
sekali menikmati rima, ritma, dan metrum yang terdapat dalam puisi tersebut. Karena
itu versifikasi terbagi atas tiga bagian, antara lain : (1) Rima, (2) Ritma,
dan (3) Metrum.
1. Rima
Waluyo
(1991:90) menyatakan, “Rima adalah pengulangan bunyi yang membentuk musikalitas
atau orkestrasi”. Untuk pengulangan bunyi, penyair juga mempertimbangkan
lambang bunyi. Dengan cara ini pemilihan bunyi – bunyi mendukung perasaan dan
suasana puisi.
Menurut
B.P. Situmorang (1981:33-34) rima adalah persamaan bunyi yang berulang – ulang
yang kita temukan pada akhir atau pada akhir – akhir kata tertentu pada setiap
baris. Beliau membedakan rima menjadi tiga bagian yaitu menurut tempat
persamaan bunyinya ada rima awal dan ada rima akhir. Menurut sempurna tidaknya
persamaan itu, ada rima sempurna dan ada rima tak sempurna. Kemudian, rima
menurut susunannya, ada rima berangkai, rima berselang, rima berpeluk,
aliterasi, asonansi, euphony, cacophony.
Ada beberapa hal yang terdapat dalam rima, yaitu :
a. Anomatope
Anomatope
adalah tiruan terhadap bunyi – bunyi yang ada. Dlam puisi, bunyi – bunyi yang
dipilih oleh penyair diharapkan dapat memberikan gema atau memberikan warna
suasana tertentu seperti yang diharapkan penyair.
Misalnya
puisi berjudul “O”,”ngiau”, “terkekeh - kekeh” karya Sutardji Calzoum Bachri
menggunakan kata – kata Anomatope seperti : ngiau, huss, puss, wau, haha,
taktiktaktik,ping,waswas.
b. Bentuk
intern pola bunyi
Menurut
Boulton dalam Waluyo yang dimaksud bentuk intern pola bunyi adalah alterasi,
asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh,
sajak penuh, repetisi bunyi.
c. Pengulangan
bunyi atau ungkapan
Pengulangan
bunyi/ kata/ frasa memberikan efek intelektual dan efek magis yang murni. Dalam
puisi “Bikin Sendiri Saja” terdapat pengulangan ungkapan “bikin sendiri saja”
dan “jika tak bikin sendiri”. Hal ini dilakukan untuk memberikan tekanan yang
lebih kuat.
Dari
pendapat para ahli di atas menyimpulkan bahwa rima adalah persamaan bunyi
maupun pengulangan bunyi yang terdapat dalam puisi. Rima tersebut dapat dibagi
menjadi beberapa jenis antara lain :
-
Rima sempurna, yaitu rima yang seluruh
suku akhirnya brima sama.
Misalnya
: hi – lang, bi – lang
-
Rima tak sempurna, yaitu rima yang
terdapat pada sebagian suku akhir.
Misalnya
: pu – lang
Tu – kang
-
Rima mutlak, yaitu rima yang apabila
seluruh katanya berirama.
Misalnya
: Mendatang – datang jua,
Kenangan lama lampau,
Menghilang muncul jua,
Yang dulu sinau – silau.
Kata
jua yang diulang dua kalipada tempat
yang sama yaitu berima mutlak.
-
Rima aliterasi, yaitu apabila yang
berima itu bunyi – bunyi awal pada tiap – tiap kata yang sebaris, maupun pada
baris – baris berlainan.
Misalnya
: Bukan beta bijak berperi,
Pandai menggubah madahan syair,
Bunyi
b pada kata –kata dalam baris pertama
bait puisi di atas disebut rima aliterasi.
-
Rima asonansi, yaitu apabila yang berima
ialah vokal-vokalyang menjadi rangka kata-kata, baik pada satu baris maupun
pada baris-baris yang berlainan.
Misalanya
: me-ne-puk teluk
me-na-pak jalan
Yang
disebut asonansi adalah vokal-vokal e-u-a
-
Rima disonansi, yaitu apabila yang
berima ialah vokal-vokal yang menjadi rangka kata-kata yang memberikan kesan
bunyi-bunyi yang berlawanan.
Misalnya
: tin-dak - tan-duk
( i-a / a-u)
-
Rima awal, yaitu rima yang apabila
kata-katanya berima terletak pada awal kalimat .
-
Misalnya : Bagaikan banjir gulung-gemulung
Bagaikan topan seruh-menderuh
Demikian rasa
Datang semasa
Mengalir,
menimbun, mendesah, mengepung
Memenuhi sukma, menawan tubuh
-
Rima tengah, yaitu rima yang apabila
kata-kata berima terletak di tengah-tengah kalimat.
Misalnya
: Berakit- rakit ke hulu
Berenang-renang
ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
-
Rima akhir, yaitu rima apabila kata-katanya
berima terletakdi akhir kalimat.
Pantun
di bawah ini memperlihatkan ketiga macam rima (awal, tengah, akhir)sekaligus
Dari mana punai melayang
Dari sawahturun
ke padi
Dari mana kasih sayang
Kata
me-layang dan sayang, padi dan hati
terdapat pada akhir kalimat .
-
Rima tegak, yaitu rima yang apabila
kata-katanya berima terletak di baris-baris yang berlainan.
Misalnya
: Kejahatan diri sembunyikan
Kebajikan
diri diamkan
-
Rima datar, yaitu rima yang apabila
kata-katanya berima terletak di baris yang sama.
Misalnya
: Air mengalir mengilir sungai
-
Rima sejajar, yaitu rima yang apabila
sepatah kata di pakai berulang-ulang dalam kalimat yang beruntun
Misalnya
: Dapat sama laba
Cicir
sama rugi
-
Rima berpeluk/ rima paut, yaitu
apabilabaris pertama berima dengan baris keempat, baris kedua berima dengan
baris ketiga dengan pola a-b-b-a.
Misalnya
: Bersabung kilat di ujung langit (a)
Gemuruh
guruh berjawab-jawaban (b)
Bertangkai
hujan dicurah awan (b)
Mengabut sabut sebagai dibangkit (a)
-
Rima berselang, yaitu rima yang letaknya
berselang-selang dengan rumus: a-b-a-b, c-d-c-d.
misalnya
: Waktu masih muda dewasa (a)
Nyala
gembira masih dikandung (b)
Sungai mengalir gagah perkasa (a)
Gagap
gembita di celah gunung (b)
-
Rima rangkai, yaitu apabila kata-kata
yang berima terdapat pada
kalimat-kalimat yang beruntun dengan pola: a-a-a-a, b-b-b-b.
Misalnya
: Hatiku rindu bukan kepalang, (a)
Dendam berahi berulang-ulang, (a)
Air mata bercucur selang-menyelang (a)
Mengenangkan adik kekasih abang (a)
Diriku lemah anggotaku layu (b)
Rasakan cinta bertalu-talu, (b)
Kalau
begini datangnya selalu (b)
Tentulah
kakanda berpulang dahulu. (b)
-
Rima bebas, yaitu rima yang tidak
memenuhi kaidah-kaidah yang sudah ada atau tidak berima
-
Euphony, yaitu rangkaian bunyi yang
harmonis dan enak didengar .
Misalnya
: Jadilah pelopor, jangan jadi pengekor
-
Cacophony, yaitu rangkaian bunyi yang
berat menekan, mencekam, mengerikan, yang menunjukkan kesuraman, kekelaman,
keseraman, seolah - olah seperti suara desau atau burung hantu.
Misalnya
: Tuhanku
Dalam
termangu
Aku
masih menyebut namaMu.
Tuhanku
Aku
hilang bentuk
Remuk
2. Ritma
Ritma berasal dari Yunani “ rheo” , yang
berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus menerus, dan tidak putus-putus.
Sehingga dapat menimbulkan daya magis yang semakin kuat apabila mengandung
ritma. Slamet Muljana (dalam Waluyo, 1991:94) menyatakan, “ Ritma merupakan
pertentangan bunyi tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/ lemah, yang mengalun
dengan teratur, dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan,”
Ritma atau irama sangat berhubungan
dengan pengulangan bunyi kata, rasa dan kalimat . Ritma berarti pengantian
keras/ lembut, tinggi/ rendah atau panjang/pendek suara secara berulang - ulang
dengan tujuan menciptakan gelombang yang memperindah puisi.
3. Metrum
Setelah memahami tentang rima dan ritma,
maka dibawah ini akan dibicarakan tentang metrum. Metrum merupakan pengulangan
tekanan kata yang tetap dan bersifat statis. Suku kata dalam puisi biasanya
diberi tanda (-) yang mendapat tekanan
keras dan yang bertekanan lemah diberi tanda (ᴗ).
Dalam sastra lama
mertum itu terdiri dari :
a. Jambe
: ᴗ-/ ᴗ-
b. Troche : -ᴗ/
-ᴗ
c. Dactylus
: -ᴗᴗ/ -ᴗᴗ
d. Anapes : ᴗᴗ-/ ᴗᴗ-
-
Keterangan : - berarti arsis ( keras )
ᴗ berarti thesis ( lunak)
F.Tata
wajah (Tipografi)
Waluyo
(1991:97) menyatakan tipografi adalah pembeda yang penting antara puisi dengan
prosa dan drama . Dalam puisi mutakhir banyak ditulis puisi yang mementingkan
tata wajah, bahkan penyair berusaha menciptakan puisi dengan gambar. Hal itu
dapat dilihat lebih jelas pada puisi-puisi kontemporer, karena tipografi itu
dipandang begitu penting.
Tipografi
memang merupakan unsur luar dalam pembentukan suatu puis, unsur dalamnya ialah
kata. Namun, demikian masalah tersebut perlu juga diperhatikan dalam melihat
suatu puisi, karena pada kenyataannya cukup banyak penyair yang memanfaatkan
unsur tipografi sebagai mendukung maksud puisi yang disajikan. Hal ini
bertujuan membantu para pembaca untuk mengetahui makna yang disampaikan oleh
penyair melalui puisinya . penyair menyampaikan makna sesuai dengan
bentuk-bentuk puisi di gambarkan . seperti contoh penyair membentuk bentuk
Salib, Pohon Natal, lilin dalam lingkaran dan ada juga yang berbentuk zig-zag .
Contoh
:
t
ttt
rrrrr
rrrrrrr
eeeeeeeeee
???
Kata yang hendak
dinyatakan dalam puisi ini hanyalah “ Tree “ namun karena membentuk gambar
Pohon Natal, maka pembaca mengetahui bahwa yang dimaksud penyair adalah Pohon
Natal. Tipografi terdiri atas dua bagian yaitu :
1. Tata
wajah non – konvensional (tidak mengikuti aturan).
Contoh
: Bentuk zig – zag
Kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
ka
ku
(Sutardji
calzoom Bachri, 1983)
Tipografi
puisi Sutardji Calzoom Bachti berjudul “Tragedi Winka dan Sihka “ ditulis berbentuk zig-zag, karena penyair
mempunyai maksud tertentu dengan membalik kata-kata yang digunakan. Kata-kata
yang tidak bermakna diberi makna, dan sudah bermakna diberi makna diberi makna
baru. Maju mundurnya baris dan maju mundurnya pernyataan mengandung maksud tersendiri
.
Puisi
di atas berjudul “ Tragedi Winka dan Sihka “ , pembaliakn kata/kawin/ menjadi
/winka/ dan kata /kasih/ menjadi /sihka / mengandung makna bahwaa perkawinan
antara suami istri itu berantakan dan kasih antara suami istri berbalik menjadi kebencian. Dapat ditarik kesimpulan bahwa
baris-baris puisi yang membentuk zig-zag mengandung makna terjadinya
kegelisahan dalam perjalanan perkawinan.
2. Tata
wajah konvensional (apa adanya tampak membentuk gambar atan bentuk tertentu
lainnya .
Contoh :
KARANGAN
BUNGA
Tiga
anak kecil
Dalam
langkah malu-malu
Datang
ke salemba
Sore
itu
Ini
dari kami bertiga
Pita
hitam pada karangan bunga
Sebab
kami ikut berduka
Bagi
kukak yang ditembak mati
Siang
itu
(Taufik
Ismail 1966)
Puisi
tersebut disampaikan penyair tanpa membentuk gambar atau puisi itu disampaikan
apa adanya .
2.
Struktur Batin
Struktur batin puisi adalah medium untuk
mengungkapkan makna yang hendak disampaikan penyair. Struktur batin puisi
terdiri atas 4 bagian, yakni :
A. Tema (Sense)
Setiap
puisi pasti mengandung suatu pokok persoalan yang hendakdikemukannya. Pokok persoalan yang hendak dikemukakan
tersebut itulah yang merupakan: “Tema
merupak gagasan pokok atau subject matter yang dikemukakan penyair”.
Dalam
menulis puisi pokok persoalan itu mendesak jiwa penyair dengan kuat sehingga
menjadi landasan utama dalam menulis puisi. Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan antara penyair dengan Tuhan,
maka puisinya bertemakan keTuhanan. Jika desakan yang kuat itu berupa belas
kasihan atau kemanusiaan maka puisinya bertemakan kemanusiaan. Jika desakan itu
adalah protes daan kritik sosial. Perasaan cinta atau patah hati yang kuat juga
dapat melahirkan tema cinta atau kedukaan hati karena cinta.
Contoh: Kembang
Setengah Jalan
Mejaku hendak
dihiasi
Kembang jauh dari gunung
Kau petik sekarangan kembang
Jauh jalan panas hari
Bunga lanyu setengah jalan
(ARMYN
PANE )
Setelah
kita membaca puisi di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa tema puisi tersebut
adalah” sesuatu yang tak sampai “ .
B.
Rasa
( Feeling )
Dalam
menciptakan puisi suasana persaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat
dihayati oleh pembaca. Menurut Situmorang (1981: 13), rasa (feeling) adalah “
sikap penyair terhadap subject matter atau pokok persoalan yang terdapat di
dalam puisinya”. Setiap orang mempunyai sikap, pandangan, watak tertentu dalam
menghadapi sesuatu. Misalnya waktu berhadapan dengan pengemis, si A mungkin
menghadapinya dengan sifat antipati sedangkan si B dengan simpati. Hal ini
sejalan dengan pendapat H.G Tarigan (1984: 11) yang menyatakan : “Rasa atau
feeling adalah “ The poet’s attitude toward his subject matter”, yaitu sikap
sang penyair terhadap pokok permasalahan yang terkandung dalam puisinya .
Contoh
: Karangan Bunga
Tiga
anak kecil
Dalam langka malu-malu
Datang
kesalemba
Sore
itu
(Taufik
Ismail, 1966)
Pada puisi (karangan bunga ) di atas
dapat kita lihat bagaimana perasaaan terharu penyair terhadap peristiwa
gugurnya pahlawan.
C.
Nada
(Tone )
Menurut
H.G Tarigan (1984:17-18) yang dimaksud dengan nada dalam dunia perpuisian
adalah “ sikap sang penyair terhadap pembacanya atau dengan perkataan lain
sikap penyair terhadap para penikmat karyanya”.
Dalam
menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca apakah dia
ingin bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir atau bersikap lugas,
hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair inilah yaang disebut
dengan nada puisi, hal ini sesuai dengan pendapat Situmorang (1981: 14) yang
menyataakan: “ Tone atau nada adalah sikap penyair terhaadap pembaca atau
penikmat karyanya pada umumnya .”
Contoh
:
Nada
kagum misalnya terdapat dalam puisi “ Perempuan-Perempuan Perkasa” oleh Hatono
Andang Jaya dan puisi “ Diponegoro” oleh Chairil Anwar.
D.Amanat (Intention)
Menurut Waluyo (1991:130), “
Tujuan/amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya”.
Selanjutnya Supriadi (1993:351) menyatakan: “Amanat adalah pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca/pendengaran atau penonton”. Dari kedua
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan yang ingin
disampaikan pengarang melalui puisi .
2.4. Riwayat Hidup Pengarang
1.
Riwayat hidup W.S. Rendra
Rendra lahir di solo tanggal 7 Nopember 1935 dari keluarga
Katolik. Nama lengkapnya Wilibrodus Surendra Rendra, ia adalah putra Pak Broto
Atmojo, guru SMA St.Yosef Surakarta. Sejak sekolah rendah mendapat pendidikan
di sekolah katolik. Setamat SMA di Solo,ia melanjutkan studinya di Fakultas
Sastra Jurusan Sastra Barat di Universitas Gajah Mada Yogyakarta sampai
mendapat gelar sarjana muda sastra.
Awal menciptakan karya sastra sejak tahun 1954 berupa sajak, cerpen, drama, kritik, dan esai, yang dibuat dalam berbagai majalah, seperti kisah, budaya, basis dan lain-lain. Pada tahun yang sama 1954 mengikuti seminar sastra di Harvard University selama dua bulan. Pada tahun 1964 ia berangkat ke Amerika Serikat untuk memperdalam studi bidang drama pada American Acedemic of Dramatical Arts (AADA) dan mendapat bea siswa untuk belajar drama. Tahun 1967 kembali ke Tanah Air. Di Nederland pada tahun 1971 dan 1978 Rendra dua kali mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Nederland. Sejak tahun 1968 ia mendirikan Bengkel Teater, tetapi karena pementasan-pementasannya yang bernada kritik, maka ia dilarang berpentas pada tahun 1978. Namun akhir-akhir ini Rendra sudah diijinkan untuk membaca puisa dan mementaskan drama.
Rendra juga pernah mendapat hadiah pertama dalam sayembara mengarang drama yang diadakan oleh Bagian Kesenian P dan K Yogyakarta 1954 dengan dramanya “ Orang-Orang di Tikungan Jalan.” Mendapat hadiah sastra 1955/1956 yang diadakan oleh BMKN, tahun 1957 untuk kumpulan sajaknya “Ballada Orang-Orang Tercinta.” Dalam tahun 1958 memenangkan hadiah majalah untuk cerita pendeknya yang termuat dalam majalah itu.
Sajak-sajak Rendra pada hakekatnya adalah balada-balada jika didasarkan atas prses terciptanya sajak-sajaknya, maka kumpulan sajak Rendra dapat diklasifikasikan menjadi 3 periode yakni (1) periode Solo-Jogya yang juga dapat dinyatakan sebagai periode romantik, (2) periode New York yang dinyatakan sebagai periode pemberontakan moral, (3) periode Jakarta yang dapat dinyatakan sebagai periode pampflet ekonomi.
Dalam puisinya, Rendra juga mengetengahkan pengaruh Jawa dalam puisi-puisinya yang ditulis pada awal kepenyairannya. Seperti cerita Rakyat Paman Doblang, Nyai Roro Kidul dapat kita hayati dalam sajak-sajak Rendra. Karena pada waktu itu, dia masih seorang pemeluk agama katolik yang baik, maka nada-nada kekatolikan juga nampak, seperti lukisan tentang malaikat, altar, sakramen, Kristus dan sebagainya. Dalam puisi-puisi Rendra kekatolikannya itu dilatarbelakangi alam kejiwaan.
2. Riwayat Hidup Rustam Effendi
Awal menciptakan karya sastra sejak tahun 1954 berupa sajak, cerpen, drama, kritik, dan esai, yang dibuat dalam berbagai majalah, seperti kisah, budaya, basis dan lain-lain. Pada tahun yang sama 1954 mengikuti seminar sastra di Harvard University selama dua bulan. Pada tahun 1964 ia berangkat ke Amerika Serikat untuk memperdalam studi bidang drama pada American Acedemic of Dramatical Arts (AADA) dan mendapat bea siswa untuk belajar drama. Tahun 1967 kembali ke Tanah Air. Di Nederland pada tahun 1971 dan 1978 Rendra dua kali mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Nederland. Sejak tahun 1968 ia mendirikan Bengkel Teater, tetapi karena pementasan-pementasannya yang bernada kritik, maka ia dilarang berpentas pada tahun 1978. Namun akhir-akhir ini Rendra sudah diijinkan untuk membaca puisa dan mementaskan drama.
Rendra juga pernah mendapat hadiah pertama dalam sayembara mengarang drama yang diadakan oleh Bagian Kesenian P dan K Yogyakarta 1954 dengan dramanya “ Orang-Orang di Tikungan Jalan.” Mendapat hadiah sastra 1955/1956 yang diadakan oleh BMKN, tahun 1957 untuk kumpulan sajaknya “Ballada Orang-Orang Tercinta.” Dalam tahun 1958 memenangkan hadiah majalah untuk cerita pendeknya yang termuat dalam majalah itu.
Sajak-sajak Rendra pada hakekatnya adalah balada-balada jika didasarkan atas prses terciptanya sajak-sajaknya, maka kumpulan sajak Rendra dapat diklasifikasikan menjadi 3 periode yakni (1) periode Solo-Jogya yang juga dapat dinyatakan sebagai periode romantik, (2) periode New York yang dinyatakan sebagai periode pemberontakan moral, (3) periode Jakarta yang dapat dinyatakan sebagai periode pampflet ekonomi.
Dalam puisinya, Rendra juga mengetengahkan pengaruh Jawa dalam puisi-puisinya yang ditulis pada awal kepenyairannya. Seperti cerita Rakyat Paman Doblang, Nyai Roro Kidul dapat kita hayati dalam sajak-sajak Rendra. Karena pada waktu itu, dia masih seorang pemeluk agama katolik yang baik, maka nada-nada kekatolikan juga nampak, seperti lukisan tentang malaikat, altar, sakramen, Kristus dan sebagainya. Dalam puisi-puisi Rendra kekatolikannya itu dilatarbelakangi alam kejiwaan.
2. Riwayat Hidup Rustam Effendi
Rustam
Effendi adalah salah seorang perintis pembaharuan lahirnya pujangga baru. Lahir
di Sumatera Barat tahun 1903. Belajar di Kweek School Bukit Tinggi, Hogere
Kweek School Bandung kemudian memperoleh Hoofdocte di negeri Belanda.
Dia
menjadi anggota Tweede Kamer sebagai wakil partai komunis di negeri Belanda
(1936-1946). Setelah keluar dari partai komunis kembali ke tanah air, lalu
menggabungkan diri dengan Tan Malaka.
Rustam
Effendi mempunyai sikap nasionalisme yang tinggi. Ia merindukan kebebasan
bangsanya dari penjajahan Belanda. Rustam Effendi mulai menulis pada tahun 1924
dengan bukunya yang berjudul Bebasari.
Kemudian disusul dngan buku yang berjudul percikan permenungan (1926).
Bebasari
adalah drama bersajak yang dengan kuat melukiskan keinginan yang kuat dari
penyair untuk bebas dari penjajahan Belanda. Keinginan akan kebebasan itu
dilambangkan dengan tokoh termuda yang dalam perjalanan hidupnya berusaha untuk
membebaskan kekasihnya yang berada dalam keserakahan seorang raksasa.
Buku
kedua yang berjudul “Percikan Permenungan” yang merupakan kumpulan sanjak.
Dalam puisi-puisinya, Rustam Effendi menunjukkan kemauannya yang kuat untuk
lepas dari ikatan puisi lama, yakni ikatan pantun dan syair.
Hasil karyanya :
1. Percikan permenungan, kumpulan sanjak (1927)
2. Bebasari, drama puisi yang symbolis (1924)
3. Balada anak tercinta
Hasil karyanya :
1. Percikan permenungan, kumpulan sanjak (1927)
2. Bebasari, drama puisi yang symbolis (1924)
3. Balada anak tercinta
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode
penelitian memegang peranan yang sangat penting dalam suatu penelitian agar
bertujuan dapat tercapai. Metode merupakan cara kerja dalam memahami objek yang
menjadi sasaran penelitian. Setiap peneliti dapat memilih salah satu metode
dari berbagai metode yang ada sesuai dengan tujuan, sifat objek, sifat ilmu
atau teori yang mendukungnya. Dalam penelitian objeklah yang menentukan metode
yang digunakan (Koentjaranigrat, 1977:17).
Sesuai
dengan uraian di atas, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kepustakaan dan deskriptif analisis. Metode kepustakaan digunkan dengan
membaca buku-buku referensi yang ada hubungannya dengan pengarang dan hasil
karya sastranya. Sedangkan metode deskriptif-analisis digunakan untuk
memberikan pendeskripsian serta pembahasan suatu gejala, peristiwa, kejadian
yang menjadi sumber penelitian berlangsung.
Dengan
penggunaan metode deskriptif-analisis tersebut, maka peneliti menganalisis
perbandingan struktur fisik dan struktur batin yang terdapat pada puisi
“Lautan” karya W.S.Rendra dan Rustam Effendi. Sehingga metode yang digunakan
pada saat penelitian ini berlangsung,merupakan cara untuk menunjukkan dan
menganalisis fakta-fakta yang terdapat
dalam karya satra yang akan diteliti.
3.2.Pengumpulan
Data
Sejalan
dengan metode kepustakaan dan deskriptif, maka pengumpulan data digunakan
penulis sebagai bahan penelitian ini dilakukan dengan cara mencatat semua
informasi yang berkaitan dengan objek yang diteliti melalui buku-buku referensi
yang terdapat di perpustakaan.
Dengan
mengetahui informasi melalui buku-buku di perpustakaan akan mempermudah
mengidentifikasi data-data yang dibutuhkan sebagai bahan analisis untuk
memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti dalam penelitian ini.
Secara
khusus sesuai dengan masalah dan tujuan yang diharapkan melalui penelitian ini,
maka penulis mengumpulkan data melalui karya W.S. Rendra dan Rustam Effendi.
3.3
Pengolahan Data
Pengolahan
data bertujuan untuk mengungkapkan proses pengorganisasian dan pengurutan
data-data dalam kategori dan satuan uraian. Sehingga dapat ditemukan pokok
persoalan yang dipermasalahkan dan pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan yang
dilengkapi dengan data-data pendukungnya.
Berdasarkan
uraian diatas, maka pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
melalui analisis konteks. Anlisis ini dilakukan dengan mengikuti
langkah-langkah sesuai dengan unsur-unsur yang menyatu dan menyeluruh. Dengan
demikian diharapkan dapat menghasilkan suatu analisis atau pengolahan data yang
terarah dan sesuai dengan apa yang diharapkan peneliti.
Adapun
langkah-langkah yang dilakukan dalam pengolahan data penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Peneliti membaca puisi yang akan dianalisis secara berulang-ulang.
2. Peneliti menetapkan butir msasalah yang akan dianalisis serta menentukan data urutannya.
3. Peneliti menganalisis satu persatu masalah yang telah ditentukan sesuai dengan urutannya.
4. Peneliti menyimpulkan hasil analisis dengan mereduksikan kembali konsep yang telah disusun secara lebih cermat, lengkap,sistematis, dan rapi.
1. Peneliti membaca puisi yang akan dianalisis secara berulang-ulang.
2. Peneliti menetapkan butir msasalah yang akan dianalisis serta menentukan data urutannya.
3. Peneliti menganalisis satu persatu masalah yang telah ditentukan sesuai dengan urutannya.
4. Peneliti menyimpulkan hasil analisis dengan mereduksikan kembali konsep yang telah disusun secara lebih cermat, lengkap,sistematis, dan rapi.
3.4.
Sumber Penelitian
Adapun
yang menjadi sumber penelitian ini adalah puisi W.S. Rendra dan Rustam Efendi
yang berjudul “Lautan”. Kedua puisi ini dipilih karena peneliti merasa tertarik
untuk memperbandingkan serta ingin mengetahui struktur fisik dan struktur batin
yang terdapat dalam kedua puisi tersebut.
BAB
IV
PEMBAHASAN
Adapun yang akan dianalisis pada pembahasan ini
adalah struktur fisik dan struktur batin puisi “Lautan” karya W. S. Rendra
dengan puisi “Lautan” karya Rustam Efendi.
4.1 Analisis Struktur Fisik dan Struktur Batin Puisi “Lautan” karya W.
S. Rendra
LAUTAN
Daratan adalah rumah
kita
dan lautan adalah
kebebasan
Langit telah bersatu
dengan samudera
dalam jiwa dan dalam
warna
Ke segenap arah
berlaksa-laksa hasta
di atas dan di bawah
membentang warna biru
muda
tanpa angin
mentari terpancang
bagai kancing dari
tembaga
Tiga buah awan yang
kecil dan jauh
berlayar di langir
dan di air
bersama dua kapal
layar
bagai sepasang burung
camar
dari arah yang
berbeda
Sedang lautan
memandang saja
lautan memandang saja
Di hadapan wajah
lautan
nampak diriku yang
pendusta
Disini semua harus
telanjang
bagai ikan di lautan
dan burung di udara
Tak usah bersuara !
Janganlah bersuara !
Daratan adalah rumah
kita
Dan lautan adalah
rahasia
W. S. Rendra
4.1.1
Analisis Struktur Global Puisi “Lautan” Karya W. S. Rendra
Puisi lautan karya Rustam Effendi menggunakan kata
lautan yang melambangkan suatu kebebasan. Penyair ingin menyampaikan bahwa
dalam melaksanakan aktivitasnya manusia menikmati kebebasan dan kerahasiaan.
Tetapi, akibat kebebasan itu manusia sering melakukan perbuatan-perbuatan yang
tidak baik. Oleh karena itu penyair tidak ingin melihat kemunafikan dan
keburukan ditutup-tutupi melainkan, penyair menginginkan supaya kebebasan itu
dinikmati dengan penuh keterbukaan seperti lautan bebas.
Bait I : Menceritakan bahwa setiap manusia berhak
melakukan aktivitasnya dengan penuh kebebasan. Dalam melaksanakan aktivitas
tersebut kebebasan dan kerahasiaan telah menyatu dalam berbagai aspek kehidupan
manusia.
Bait II : Menceritakan bahwa kebebasan itu ada
dimana-mana dan menjadi milik semua orang serta hadir memberi berbagai harapan.
Apapun tidak menjadi penghalang karena kebebasan selalu beriring dengan
kehidupan manusia.
Bait III : Menceritakan bahwa akibat kebebasan itu manusia
sering tergoda untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, yang
datang dari berbagai aspek kehidupan. Sehingga manusia sering menghadapi berbagai
masalah.
Bait IV : Menceritakan di hadapan kebebasan, semua
rahasia harus ditelanjangi bagai ikan dilautan dan bagai burung di udara,
Artinya penyair mengharapkan agar segala perbuatannya yang baik maupun yang
buruk harus diakui dan disadari siapa dirinya sebenarnya yang tidak luput dari
berbagai kesalahan.
Bait V : Penyair menceritakan bahwa daratan memang
tempat manusia melakukan aktivitasnya dan menekankan kebebasan telah menyatu
dengan kerahasiaan.
4.1.2
Analisis Struktur Fisik Puisi “Lautan” Karya W. S. Rendra
1.
Diksi
Diksi adalah pilihan
kata yang diusahakan oleh penyair dengan secermat dan seteliti mungkin. Diksi
yang terdapat pada puisi “Lautan” yang digunakan penyair dalam menuangkan
idenya menggunakan kata-kata puisi dan bersifat konotatif disamping menggunakan
kata-kata umum yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun kata-kata yang
digunakan penyair sebagai kata yang lebih khusus dan bersifat konotatif atau
puitis dapat diperhatikan pada kata : lautan
(bait I baris ke-1), data daratan
(bait I baris ke-1), kata berlaksa-laksa
(bait II baris ke-2), kata membentang
(bat II baris ke-4), kata mentari
(bait II baris ke-6), kata awan (bait
II baris ke-1). Kata memandang (bait
III baris ke-6), kata wajah (bait IV
baris ke-1), kata pendusta (bait IV
baris ke-2), kata telanjang (bait IV
baris ke-3), kata bersuara (bait IV
baris ke-6). Kata-kata di atas sengaja digunakan penyair untuk memberikan
perhatian khusus serta mampu menghidupkan imajinasi para pembaca.
Sebenarnya kata-kata
di atas dapat diganti dengan kata-kata lain seperti : kumpulan air, tanah,
berkumpul, roh, tujuan, berpuluh-puluh ribu meter, terbuka, matahari, melihat,
muka, penghalang, tidak berpakaian. Tetapi apabila kata itu diganti akan
mengganggu daya gaib yang terkandung dalam puisi tersebut.
2.
Imajinasi
Bila diperhatikan
dari imajinasi atau daya bayang penyair dalam puisi tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa penyair mempunyai imajinasi yang kuat.
Adapun imajinasi yang
akan digunakan penyair dalam puisi “Lautan” karya W. S. Rendra adalah :
a.
Imajinasi
Visual (dilihat) yaitu imajinasi yang menampilkan kata atau kata-kata yang
menyebabkan apa yang digambarkan penyair seperti dapat dilihat oleh pembaca.
Dapat kita lihat pada kalimat di bawah ini.
-
Daratan adalah rumah kita (bait I baris 1)
-
Langit telah bersatu dengan
samudra (bait I
baris 3)
-
Kesegenap arah/berlaksa-laksa
hasta/di atas dan di bawah/membentang warna biru muda (bait II baris 1, 2, 3, 4)
-
Bagai kancing dari tembaga (bait II baris 6)
-
Tiga buah awan yang kecil dan
jauh (bait III
baris 1)
-
Berlayar di langit dan di air (bait III baris 1)
-
Bersama dua kapal layar/bagai
sepasang burung camar/dari arah yang berbeda (bait III baris 3, 4, 5)
-
Dihadapan wajah lautan/bagai
sepasang burung camar/dari arah yang berbeda (bait III baris 3, 4, 5)
-
Dihadapan wajah lautan/nampak
diriku pendusta
(bait IV baris 1, 2)
-
Disini semua harus telanjang (bait IV baris 3)
-
Bagai ikan di lautan/dan burung
di udara (bait
IV baris 4, 5)
b.
Imajinasi
Taktil (rasa)
Selain imajinasi
visual, penyair menggunakan imajinasi taktil dalam menciptakan puisinya yang
berjudul “Lautan”. Yang dimaksud dengan imajinasi taktil yaitu imajinasi
seolah-olah pembaca merasakan apa yang dibacanya.
Hal itu dapat kita lihat pada :
-
Dan lautan adalah kebebasan (bait I baris 2)
-
Dalam jiwa dan dalam warna (bait I baris 4)
-
Tanpa angin/mentari terpancang (bait II baris 5, 6)
-
Sedang lautan memandang saya (bait II baris 4)
-
Dan lautan adalah rahasia (bait V baris 1)
3.
Kata
Konkret
Salah satu cara
pengarang untuk membangkitkan jasmani atau daya bayang para pembaca puisi
adalah dengan menggunakan kata-kata yang tepat, kata-kata yang tepat, kata-kata
yang konkrit yang dapat menyarankan satu pengertian menyeluruh. Pada puisi
“Lautan” karya W. S. Rendra menggunakan kata-kata konkrit seperti :
-
Lautan mengkonkritkan suatu kebebasan yang ada pada kehidupan
manusia dalam melaksanakan aktivitasnya
-
Daratan mengkonkritkan tempat manusia beraktivitas untuk memenuhi
kebutuhannya.
-
Kesegenap arah mengkonkritkan kebebasan ada dimana-mana, ada di setiap
aspek kehidupan manusia
-
Tanpa angin mengkonkritkan suatu kebebasan yang tidak dihalangi oleh
apapun
-
Diriku yang pendusta mengkonkritkan kehidupan manusia penuh dengan kemunafikan
yang sering melakukan perbuatanperbuatan yang tidak baik
-
Harus telanjang mengkonkritkan kesalahan-kesalahan yang diperbuat tidak
doleh dirahasiakan
-
Tiga buah awan mengkonkritkan berbagai macam perbuatan-perbuatan yang
tidak baik
4.
Bahasa
Figuratif
Dalam menyampaikan
makna yang terkandung dalam puisinya, penyair sering menyampaikannya dengan
cara yang tidak langsung. Pada puisi “Lautan” karya W. S. Rendra kita jumpai
kiasan dan lambang.
a.
Kiasan
Makna kiasan
digunakan penyair dengan tujuan menciptakan efek yang lebih kaya, lebih efejtif
dan lebih sugestif. Pada puisi “Lautan” ini kita jumpai makna kias seperti :
1.
Personifikasi
yaitu gaya
bahasa yang melukiskan sesuatu atau benda mati dapat melakukan gerakan seperti
yang dilakukan makhluk hidup atau manusia. Hal itu terdapat pada :
-
Sedang lautan memandang saja (bait III baris ke-6)
-
Langit telah bersatu dengan
samudra (bait II
baris ke-3)
-
Tiga buah awan yang kecil dan
jauh berlayar di langit dan di air (bait
III baris ke-1)
2.
Perbandingan
(Simile) yaitu benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengkiasannya dan
digunakan kata-kata seperti laksana, bagaikan dan bak. Dapat kita lihat pada
kalimat di bawah ini :
-
Mentari terpancang bagai kancing
dari tembaga
(bait II baris 6-7)
-
Bersama dua kapal layar bagai
sepasang burung camar
(bait III baris 3-4)
-
Disini semua harus ditelanjangi
bagai ikan di lautan
(bait IV baris ke-4)
3.
Gaya bahasa polysindeton yaitu gaya bahasa yang menggunakan kata-kata
penghubung. Hal ini dapat kita lihat pada :
-
Dalam jiwa dan dalam warna (bait I baris ke-4)
-
Tiga buah awan yang kecil dan
jauh/berlayar di langit dan di air
(bait III baris 1-2)
b.
Pelambangan
Dalam sebuah puisi
sering digunakan pelambangan untuk memperjelas makna. Pelambangan pada puisi
“Lautan” karya W. S. Rendra dapat kita jumpai
pada :
1.
Lambang
Suasana adalah suatu keadaan yang tidak dituliskan seperti apa adanya, tetapi
digambarkan dengan keadaan lain. Pada puisi ini dapat kita lihat lambang
suasana seperti :
-
Langit telah menyatu dengan
samudra
melambangkan kebebasan dan kerahasiaan
telah menyatu dengan kehidupan manusia
-
Tanpa angin menari terpancang melambangkan kebebasan ada dimana-mana dan milik semua
orang serta tidak dapat dihalangi oleh apa dan siapapun
2.
Lambang
Benda adalah pelambangan yang dilakukan dengan menggunakan lambang benda untuk
menggantikan sesuatu yang ingin diucapkan oleh penyair. Lambang benda tersebut
terdapat pada :
-
Kancing dari tembaga melambangkan eratnya kekuatan hubungan antara manusia
dengan kebebasan
-
Kapal layar melambangkan masalah-masalah yang dihadapi manusia yang
ditimbulkan kebebasan
3.
Lambang
Warna adalah pelambangan yang dilakukan dengan menggunakan lambang warna untuk
mengungkapkan perasaan penyair. Lambang warna dapat kita lihat pada :
-
Warna biru muda melambangkan pengharapan/harapan
5.
Versifikasi
Berbicara tentang
versifikasi adalah berbicara tentang rima, ritma dan metrum. Pada puisi
“Lautan” karya W. S. Rendra terdapat versifikasi seperti :
a.
Rima
Rima adalah
pengulangan bunyi yang terdapat pada puisi. Pada puisi “Lautan” karya W. S.
Rendra terdapat rima bebas yaitu rima yang tidak memenuhi kaidah-kaidah yang
sudah ada. Hal ini dapat kita lihat pada :
LAUTAN
Daratan
adalah rumah kita (a)
dan
lautan adalah kebebasan (b)
Langit
telah bersatu dengan samudera (a)
dalam
jiwa dan dalam warna (a)
Ke
segenap arah (a)
berlaksa-laksa
hasta (b)
di
atas dan di bawah (a)
membentang
warna biru muda (b)
tanpa
angin (c)
mentari
terpancang (d)
bagai
kancing dari tembaga (b)
Tiga
buah awan yang kecil dan jauh (a)
berlayar
di langir dan di air (b)
bersama
dua kapal layar (b)
bagai
sepasang burung camar (b)
dari
arah yang berbeda (c)
Sedang
lautan memandang saja (c)
lautan
memandang saja (c)
Di
hadapan wajah lautan (a)
nampak
diriku yang pendusta (b)
Disini
semua harus telanjang (c)
bagai
ikan di lautan (a)
dan
burung di udara (b)
Tak
usah bersuara ! (b)
Janganlah
bersuara ! (b)
Daratan
adalah rumah kita (a)
Dan lautan adalah rahasia (a)
W. S. Rendra
b.
Metrum
merupakan pengulangan tekanan kata yang tetap dan bersifat statis. Metrum yang
terdapat pada puisi “Lautan” karya W. S. Rendra ialah :
LAUTAN
Daratan adalah rumah
kita
dan lautan adalah
kebebasan
Langit telah bersatu
dengan samudera
dalam jiwa dan dalam
warna
Ke segenap arah
berlaksa-laksa hasta
di atas dan di bawah
membentang warna biru
muda
tanpa angin
mentari terpancang
bagai kancing dari
tembaga
Tiga buah awan yang
kecil dan jauh
berlayar di langir
dan di air
bersama dua kapal
layar
bagai sepasang burung
camar
dari arah yang
berbeda
Sedang lautan memandang
saja
lautan memandang saja
Di hadapan wajah
lautan
nampak diriku yang
pendusta
Disini semua harus
telanjang
bagai ikan di lautan
dan burung di udara
Tak usah bersuara !
Janganlah bersuara !
Daratan adalah rumah
kita
Dan lautan adalah
rahasia
W. S. Rendra
6.
Tipografi
(Tata Wajah)
Tipografi (tata
wajah) adalah pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama.
Tipografi yang terdapat puisi “Lautan” karya W. S. Rendra adalah Tipografi yang
konvensional karena puisi tersebut ditulis apa adanya tanpa membentuk gambar
atau bentuk tertentu lainnya.
Tipografi (tata
wajah) puisi “Lautan” karya W. S. Rendra adalah sebagai berikut :
LAUTAN
Daratan
adalah rumah kita
dan
lautan adalah kebebasan
Langit
telah bersatu dengan samudera
dalam
jiwa dan dalam warna
Ke
segenap arah
berlaksa-laksa
hasta
di
atas dan di bawah
membentang
warna biru muda
tanpa
angin
mentari
terpancang
bagai
kancing dari tembaga
Tiga
buah awan yang kecil dan jauh
berlayar
di langir dan di air
bersama
dua kapal layar
bagai
sepasang burung camar
dari
arah yang berbeda
Sedang
lautan memandang saja
lautan
memandang saja
Di
hadapan wajah lautan
nampak
diriku yang pendusta
Disini
semua harus telanjang
bagai
ikan di lautan
dan
burung di udara
Tak
usah bersuara !
Janganlah
bersuara !
Daratan
adalah rumah kita
Dan
lautan adalah rahasia
W. S. Rendra
4.1.3
Analisis Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya W. S. Rendra
Berbicara tentang
struktur batin, penulis akan membahas tentang makna yang hendak disampaikan
penyair melalui puisinya. Struktur batin puisi terdiri dari empat bagian, yaitu
: tema, rasa, nada, dan amanat. Struktur batin puisi “Lautan” karya W. S. Rendra di bawah ini akan dianalisis
satu persatu.
1.
Tema
Tema adalah pokok
pikiran atau persoalan yang hendak disampaikan penyair pada puisi “Lautan”
karya W. S. Rendra terdapat tema “Kebebasan dan kerahasiaan adalah milik semua
orang dalam melaksanakan aktivitasnya”. Hal ini terdapat pada bait I, II yang
menyatakan :
Bait I : Daratan adalah rumah kita
dan lautan adalah kebebasan
Langit telah bersatu dengan
samudera
dalam jiwa dan dalam warna
Dimana menceritakan
bahwa setiap manusia berhak melakukan aktivitasnya dengan penuh kebebasan.
Dalam melaksanakan aktivitas tersebut kebebasan dan kerahasiaan telah menyatu
dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Bait II : Ke segenap arah
berlaksa-laksa hasta
di atas dan di bawah
membentang warna biru muda
tanpa angin
mentari terpancang
bagai kancing dari tembaga
Menceritakan bahwa
kebebasan ada dimana-mana dan menjadi milik semua orang serta hadir memberi
harapan. Adapun tidak menjadi penghalang karena kebebasan selalu beriring
dengan kehidupan manusia.
Dari uraian tersebut
jelaslah bahwa tema puisi itu adalah :
“Kebebasan dan kerahasiaan adalah milik semua orang dalam melaksanakan
aktivitasnya”
2.
Rasa
Rasa adalah sikap
penyair terhadap objek persoalan yang terdapat dalam puisi. Sesuai dengan tema
tersebut di atas maka rasa pada puisi “Lautan” karya W. S.
Rendra adalah : geram dan
benci. Hal ini disampaikan karena penyair tidak ingin melihat orang-orang
munafik yang menyalahgunakan kebebasan. Ia ingin supaya pembaca seperti lautan
yang penuh keterbukaan dan kebebasan dalam melakukan aktivitas selama sepanjang
tidak mengganggu kepentingan orang lain, seperti ikan di lautan dan burung di
udara. Hal itu dipertegas pada bait IV sebagai berikut :
Di
hadapan wajah lautan
nampak
diriku yang pendusta
Disini
semua harus telanjang
bagai
ikan di lautan
dan
burung di udara
Tak
usah bersuara !
Janganlah
bersuara !
3.
Nada
Jika diperhatikan
nada atau sikap penyair terhadap pembaca sesuai dengan pokok pikiran yang
disampaikan maka pada puisi “Lautan” karya W. S. Rendra adalah : kritik
terhadap penyalahgunaan kebebasan. Hal ini terdapat pada bait IV yang
menyatakan :
Di
hadapan wajah lautan
nampak
diriku yang pendusta
Disini
semua harus telanjang
bagai
ikan di lautan
dan
burung di udara
Tak
usah bersuara !
Janganlah
bersuara !
4.
Amanat
Setelah mengetahui
tema, rasa dan nada maka dapat diketahui bahwa yang menjadi amanat yang
disampaikan penyair melalui puisinya yang berjudul “Lautan” adalah agar pembaca tidak menyalahgunakan kebebasan
dan kerahasiaan dalam melaksanakan aktivitasnya, serta tidak menyia-nyiakannya
karena kebebasan dan kerahasiaan milik semua orang untuk mencapai tujuan hidup
yang lebih baik.
4.2 Analisis Struktur Fisik dan Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya
Rustam Effendi
LAUTAN
Terdengar derai ombak bercerai
Terhampar
ke pantai terurai
Mengaum
deram-derum lautan
Walaupun
dihadapan malam yang kelam
Terbentang
muka alun tiada
Tergenang
segara tiada terduga
Menyanan
air dalam arusan
Satupun
tak mungkin dapat menyilan
Demikian
konon lautan hidup
Bergabung
ombak sebelah keluar
Bercatur
rasain senang dan sukar
Bagaimanakah
artinya rahasia hidup ?
Apakah
wujud manusia bernyawa ?
Seorang
pun tiada mungkin terduga
Karya : Rustam Effendi
4.2.1
Analisis Struktur Global Puisi “Lautan” Karya Rustam Effendi
Pada
puisi “Lautan” karya Rustam Effendi, penyair menggunakan kata lautan sebagai
lambang kerahasiaan hidup manusia. Penyair ingin menyampaikan bahwa setiap
manusia mempunyai permasalahan dan juga mempunyai rahasia hidup sesuai dengan
perjalanan hidupnya. Jika memperhatikan tingkah laku seseorang kita hanya dapat
melihat dari luar saja, tanpa mengetahui apa sebenarnya yang ada di dalam
hatinya yang menjadi rahasia hidupnya. Sebesar apapun rahasia seseorang jika
menutup diri terhadap orang lain, maka masalah atau rahasia hidupnya tidak
diselesaikan.
Untuk lebih jelasnya
puisi tersebut akan diparapfrasekan seperti di bawah ini :
Bait I : Penyair menceritakan masalah dalam kehidupan
berbagai ragam penderitaan yang datang tanpa mengenal waktu.
Bait II : Menceritakan manusia dapat dilihat dari segi
lahirnya tetapi sukar diduga bagaimana jiwa dan rahasia hidupnya.
Bait III : Menceritakan dalam perjalanan hidup, manusia
harus merasakan suka dan duka.
Bait IV : Menceritakan bahwa seseorang tidak dapat
menduga rahasia hidup setiap manusia.
4.2.2
Analisis Struktur Fisik Puisi “Lautan” Karya Rustam Effendi
Seperti yang telah
diutarakan pada bab terdahulu bahwa struktur fisik terdiri dari enam bagian,
yaitu : diksi, pengimajian, kata konkrit, bahasa figuratif, versifikasi, dan
tipografi. Untuk lebih mengetahui keenam unsur tersebut pada puisi “Lautan”
karya Rustam Effendi penulis akan menganalisisnya satu per satu.
1.
Diksi
Adapun diksi yang
digunakan penyair pada puisi ini adalah kata lautan (bait I baris ke-3), kata ombak (bait I baris ke-1), kata kelam
(bait I baris ke-3), kata menyilam
(bait I baris ke-3), kata bersabung
(bait III baris ke-2), kata bercatur
rahasian (bait III baris ke-3), kata alun
(bait I baris ke-2). Jika kata-kata yang digunakan penyair diganti dengan
kata-kata lain atau kata yang semakna menjadi : kumpulan air yang sangat luas,
gelombang, gelap, menghilang, berlaga, bercampur rasa, gelombang. Maka akan
mengurangi gaya
gaib yang terdapat dalam puisi tersebut. Dan jika penempatan kata-kata dalam
baris puisi dibolak-balik atau dilakukan pergantian urutan kata akan merusak
konstruksi puisi tersebut.
2.
Imajinasi
Imajinasi adalah kata
atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Pada puisi “Lautan” karya Rustam
Effendi terdapat imajinasi sebagai berikut :
a.
Imajinasi
Visual (Dilihat) yang menampilkan kata atau kata-kata yang menyebabkan apa yang
digambarkan penyair seperti dapat dilihat oleh pembaca. Imajinasi visual yang
terdapat dalam puisi “Lautan” karya Rustam Effendi adalah :
-
Terhampar ke pantai terurai (bait baris 2)
-
Terbentang muka alun tiada (bait II baris 1)
-
Tergenang segera tiada terduga (bait II baris 2)
-
Menyanan air dalam arusan (bait II baris 3)
-
Bersabung ombak sebelah keluar (bait III baris 2)
b.
Imajinasi
Auditif (pendengaran) yaitu penciptaan ungkapan oleh penyair sehingga pembaca
seolah-olah mendengarkan suara seperti yang digambarkan penyair. Imajinasi
auditif yang terdapat dalam puisi “Lautan” karya Rustam Effendi adalah :
-
Terdengar
derai ombak bercerai (bait I baris 1)
-
Mengaum
deram-deram lautan (bait I baris 3)
c.
Imajinasi
Taktil (Perasaan) adalah penciptaan ungkapan oleh penyair yang mampu
mempengaruhi perasaan sehingga pembaca terpengaruh perasaannya. Pada puisi
“Lautan” karya Rustam Effendi dapat kita lihat imajinasi taktil seperti :
-
Walaupun di dalam malam yang
kelas (bait I
baris 1)
-
Satupun yang mungkin dapat
menyilam (bait I
baris 4)
-
Bagaimanakah artinya rahasia
hidup (bait IV
baris 1)
3.
Kata
Konkret
Untuk membangkitkan imajinasi
pembaca maka kata-kata harus diperkonkrit. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu
dapat menyarankan pada arti yang menyeluruh.
Adapun kata konkrit
yang terdapat pada puisi “Lautan” karya Rustam Effendi adalah :
-
Derai ombak mengkonkritkan masalah-masalah yang dihadapi seseorang
-
Alun tiada mengkonkritkan banyak masalah tetapi tidak dapat diketahui
orang lain
-
Menyilam mengkonkritkan membantu menyelesaikan masalah
-
Bersabung ombak mengkonkritkan dalam kehidupan manusia suka dan duka selalu
beriringan
-
Bercatur rasain mengkonkritkan dalam kehidupan manusia suka dan duka selalu
beriringan
-
Menyanam air dalam arusan mengkonkritkan menyimpan sendiri masalah-masalah yang
dihadapi
4.
Bahasa
Figuratif
Dalam menyampaikan
makna yang terkandung dalam puisinya penyair sering menyampaikan dengan cara
tidak langsung. Pada puisi “Lautan” karya Rustam Effendi kita jumpai kiasan dan
lambang.
a.
Makna
Kiasan
Makna kiasan
digunakan penyair dengan tujuan menciptakan efek lebih kaya, lebih efektif dan
lebih sugestif.
Pada puisi “Lautan” kita jumpai
makna kias seperti :
1.
Personifikasi
adalah gaya
bahasa yang melukiskan sesuatu atau benda mati dapat melakukan gerakan seperti
yang dilakukan makhluk hidup atau manusia. Hal ini dapat diperhatikan pada :
-
Terdengar derai ombak bercerai (bait I baris ke 4)
-
Mengaum derum-derum lautan (bait I baris ke 3)
-
Bersabung ombak sebelah keluar (bait III baris ke 2)
2.
Retoris
yaitu gaya
bahasa yang berbentuk pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Gaya bahasa ini dapat kita
lihat pada :
-
Bagaimanakah artinya rahasia
hidup ? (bait IV
baris ke 1)
-
Apakah wujud manusia bernyawa ? (bait IV baris ke 2)
b.
Pelambangan
Pelambangan sebuah
puisi sering digunakan perlambangan untuk memperjelas makna. Perlambangan pada
puisi “Lautan” karya Rustam Effendi terdapat pada :
1.
Lambang
bunyi yaitu makna khusus yang diciptakan oleh bunyi-bunyi atau perpaduan
bunyi-bunyi tertentu. Pada puisi “Lautan” karya Rustam Effendi didominasi bunyi
/e/, bunyi /o/ dan bunyi /u/ yang bernada berat atau sedih.
2.
Lambang
Suasana yaitu suatu keadaan yang tidak dituliskan seperti apa adanya tetapi
digambarkan dengan keadaan lain. Pada puisi “Lautan” karya Rustam Effendi dapat
kita lihat lambang suasana seperti :
-
Di dalam malam yang kelas melambangkan suasana hati yang sedih
-
Satupun tak mungkin dapat
menyilam
melambangkan masalah yang dihadapi tidak
dapat dirasakan oleh orang lain
-
Bercatur rahasiaan melambangkan suka dan duka selalu beriring dalam
kehidupan manusia
3.
Lambang
Benda yaitu pelambangan yang dilakukan dengan menggunakan lambang benda untuk
menggantikan sesuatu yang ingin diucapkan oleh penyair. Pada puisi “Lautan”
karya Rustam Effendi dapat kita lihat lambang benda seperti :
-
Ombak melambangkan masalah atau problem yang dihadapi manusia
-
Lautan melambangkan banyaknya rahasia hidup manusia yang tidak
dapat diketahui oleh orang lain serta tidak dapat diselesaikan
-
Arusan melambangkan perasaan/hati
5.
Versifikasi
Untuk memperindah
bunyi puisi harus mengandung unsur versifikasi yaitu rima, ritma dan metrum.
a.
Rima
adalah pengulangan buni
Pada puisi “Lautan”
karya Rustam Effendi terdapat rima cacophony yaitu keseringan munculnya bunyi
yang berat, menekan, mencekam, mengerikan yang menunjukkan kesuraman yang
dilambangkan bunyi /e/, /u/ dan /o/ serta konsonan sengau. Halitu dapat kita
lihat pada puisi di bawah ini :
LAUTAN
Terdengar derai ombak bercerai
Terhampar
ke pantai terurai
Mengaum
deram-derum lautan
Walaupun
dihadapan malam yang kelam
Terbentang
muka alun tiada
Tergenang
segara tiada terduga
Menyanan
air dalam arusan
Satupun
tak mungkin dapat menyilan
Demikian
konon lautan hidup
Bergabung
ombak sebelah keluar
Bercatur
rasain senang dan sukar
Bagaimanakah
artinya rahasia hidup ?
Apakah
wujud manusia bernyawa ?
Seorang
pun tiada mungkin terduga
Karya : Rustam Effendi
b.
Metrum
Metrum yang terdapat
pada puisi “Lautan” karya Rustam Effendi adalah :
LAUTAN
Terdengar derai ombak bercerai
Terhampar
ke pantai terurai
Mengaum
deram-derum lautan
Walaupun
dihadapan malam yang kelam
Terbentang
muka alun tiada
Tergenang
segara tiada terduga
Menyanan
air dalam arusan
Satupun
tak mungkin dapat menyilam
Demikian
konon lautan hidup
Bergabung
ombak sebelah keluar
Bercatur
rasain senang dan sukar
Bagaimanakah
artinya rahasia hidup ?
Apakah
wujud manusia bernyawa ?
Seorang
pun tiada mungkin terduga
Karya : Rustam Effendi
6.
Tipografi
Tipografi (tata
wajah) yang terdaoat pada puisi “Lautan” karya Rustam Effendi adalah tipografi
yang konvensional karena puisi tersebut ditulis apa adanya tanpa membentuk
gambar atau bentuk tertentu lainnya. Hal itu dapat diperhatikan pada bentuk
puisi tersebut di atas.
4.2.3
Analisis Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya Rustam Effendi
1.
Tema
Bila memperhatikan
puisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa penyair mengungkapkan tema : “Rahasia manusia sulit diduga oleh siapapun”
Bait
ke-II Terbentang muka
alun tiada
Tergenang
segara tiada terduga
Menyanan air dalam
arusan
Satupun tak mungkin
dapat menyilam
Bait
ke-IV Bagaimanakah
artinya rahasia hidup ?
Apakah wujud
manusia bernyawa ?
Seorang
pun tiada mungkin terduga
2.
Rasa
Sejalan dengan tema
yang diungkapkan enyair maka rasa yang ditampilkan penyair adalah rasa “Prihatin”
Bait
ke-I Terdengar derai ombak bercerai
Terhampar ke
pantai terurai
Mengaum
deram-derum lautan
Walaupun
dihadapan malam yang kelam
Bait
ke-II Terbentang muka
alun tiada
Tergenang
segara tiada terduga
Menyanan air dalam
arusan
Satupun tak mungkin
dapat menyilam
3.
Nada
Jika diperhatikan
dari nada atau sikap penyair terhadap pembaca sesuai dengan pokok pikiran yang
ditampilkan, maka nada yang terdapat pada puisi “Lautan” karya Rustam Effendi
adalah nada : “mengkritik seseorang yang
selalu menutup diri terhadap orang lain”
Hal ini terdapat pada bait II
Terbentang
muka alun tiada
Tergenang
segara tiada terduga
Menyanan air dalam
arusan
Satupun
tak mungkin dapat menyilam
4.
Amanat
Sesuai dengan tema,
rasa, nada yang terdapat dalam puisi “Lautan” karya Rustam Effendi, maka yang
menjadi amanat puisi tersebut adalah : “Agar
para pembaca saling memperhatikan dan saling membantu dalam suka dan duka”.
Hal ini didukung oleh bait IV
seperti berikut :
Bagaimanakah
artinya rahasia hidup ?
Apakah wujud
manusia bernyawa ?
Seorang pun tiada
mungkin terduga
4.3 Perbandingan Struktur Fisik dan Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya W. S. Remdra Dengam Puisi “Lautan” Karya
Rustam Effendi
Pada pembahasan
terdahulu telah diuraikan bagaimana struktur fisik dan struktur batin puisi
“Lautan” karya W. S. Rendra dan puisi “Lautan” karya Rustam Effendi untuk
langkah selanjutnya penulis akan membandingkan struktur fisik dan struktur
batin kedua puisi tersebut. Dengan tujuan untuk mengetahui letak persamaan dan
perbedaan struktur fisik dan struktur batin kedua puisi tersebut.
4.3.1 Persamaan Struktur Fisik dan Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya W.
S. Rendra Dengan Puisi “Lautan” Karya Rustam Effendi
1.
Persamaan
Struktur Fisik
Setelah dteliti
mengenai struktur fisik dari kedua puisi tersebut dapat dikaitkan, bahwa puisi
“Lautan” karya W. S. Rendra dan puisi “Lautan” karya Rustam Effendi terdapat
persamaan struktur fisik pada tipografinya. Dimana kedua penyair menggunakan
tipografi yang konvensional, puisinya disusun atau ditulis apa adanya tanpa
membentuk gambar, atau bentuk lainnya. Selain terdapat unsur tipografi juga
terapat persamaan pada unsur imajinasi, kedua-dua penyair menggunakan imajinasi
visual.
2.
Persamaan
Struktur Batin
Pada analisis
struktur batin dari kedua-duanya puisi tersebut terdapat persamaan pada nada.
Pada puisi “Lautan” karya W. S. Rendra mengandung nada kritik terhadap kebebasan yang disalahgunakan sedangkan pada puisi
“Lautan” karya Rustam Effendi mengandung nada mengkritik orang yang terlalu menutup diri terhadap orang lain.
4.3.2 Perbedaan Struktur Fisik dan Struktur Batin Puisi “Lautan” Karya W.
S. Rendra Dengan Puisi “Lautan” Karya Rustam Effendi
1.
Perbedaan
Struktur Fisik
Setelah menganalisis
kedua-duanya puisi tersebut dari struktur fisiknya, dapat diketahui
perbedaannya, terdapat pada diksi, imajinasi, kata konkrit, bahasa viguratif
dan versifikasi. Dimana masing-masing penyair menyusun kelima unsur tersebut
sesuai dengan versi dan ide yang disampaikan.
2.
Perbedaan
Struktur Batin
Seperti telah dibahas
pada pembahasan mengenai struktur batin, maka dapat kita ketahui perbedaan
kedua puisi tersebut.
a.
Tema
Pada puisi “Lautan”
karya W. S. Rendra terdapat tema “kebebasan
dan kerahasiaan adalah milik setiap orang dalam melaksanakan aktivitasnya”.
Sedangkan pada puisi “Lautan” karya Rustam Effendi terdapat tema “rahasia hidup manusia sulit diduga oleh
siapapun”.
b.
Rasa
Pada puisi “Lautan”
karya W. S. Rendra terdapat rasa “geram
dan benci”. Sedangkan pada puisi “Lautan” karya Rustam Effendi menggunakan
rasa “prihatin”.
c.
Nada
Pada puisi “Lautan”
karya W. S. Rendra terdapat pada nada “nada
kritik terhadap penyalahgunaan kebebasan” karena penyair ingin pembaca
hidup dengan saling memperhatikan satu sama lain sedangkan karya Rustam Effendi
puisinya bernada “mengkritik para pembaca
yang selalu menutup diri terhadap orang lain”.
d.
Amanat
Pada puisi “Lautan”
karya W. S. Rendra terdapat amanat “agar
tidak menyalahgunakan kebebasan dan kerahasiaan dalam melaksanakan aktivitasnya
serta tidak menyia-nyiakannya karena kebebasan dan kerahasiaan milik semua
orang untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik”. Sedangkan Rustam
Effendi dalam puisinya mengungkapkan amanatnya adalah “Agar para pembaca saling memperhatikan dan saling membantu dalam suka
dan duka”
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah memperhatikan
uraian penelitian ini mulai dari pendahuluan hingga pembahasan, maka penulis memberikan
kesimpulan sebagai berikut :
1.
Puisi
adalah salah satu bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran atau perasaan
dengan secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan
bahasa yakni dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.
2.
Puisi
mengandung unsur-unsur pembangun yang terdiri dari struktur fisik dan struktur
batin. Kedua unsur ini merupakan suatu kesatuan dalam membentuk suatu makna
yang akan disampaikan melalui puisi tersebut.
3.
Struktur
batin yang membangun puisi “Lautan” karya W. S. Rendra dan puisi “Lautan” karya
Rustam Effebdi terdiri dari : tema (sense), rasa (feeling), nada (tone), dan
amanat atau tujuan (intention).
4.
Struktur
fisik yang membangun puisi “Lautan” karya W. S. Rendra dan puisi “Lautan” karya
Rustam Effendi terdiri dari : diksi (diction), imajinasi atau daya bayang,
kata-kata konkret, bahasa figurative, versifikasi dan tipografi.
5.
Puisi
“Lautan” karya W. S. Rendra bertemakan “Kebebasan dan kerahasiaan adalah milik
semua orang dalam melaksanakan aktivitasnya”. Sedangkan tema puisi “Lautan”
karya Rustam Effendi adalah rahasia hidup manusia sulit diduga oleh siapapun.
6.
Rasa
atau feeling puisi “Lautan” karya W. S. Rendra adalah rasa geram dan benci
sedangkan rasa/feeling puisi “Lautan” karya Rustam Effendi adalah prihatin.
7.
Nada
yang terdapat dalam puisi “Lautan” karya W. S. Rendra adalah nada kritik
terhadap penyalahgunaan kebebasan. Sedangkan pada puisi “Lautan” karya Rustam
Effendi adalah nada kritik terhadap orang yang terlalu menutup diri terhadap
orang lain.
8.
Amanat
suatu tujuan yang ingin disampaikan W. S. Rendra melalui puisinya “Lautan”
adalah mengajak agar tidak menyalahgunakan kebebasan dan kerahasiaan dalam
melaksanakan aktivitas serta tidak menyia-nyiakannya karena kebebasan dan kerahasiaan
milik semua orang. Sedangkan Rustam Effendu dalam puisinya mengajak agar
pembaca saling memperhatikan dan saling membantu dalam suka maupun duka.
9.
Diksi
atau pilihan kata yang digunakan W. S. Rendra dan Rustam Effendi tidak begitu
sulit dan tidak begitu mudah dipahami.
10. Imajinasi atau daya bayang pada
puisi “Lautan” karya W. S. Rendra dan puisi “Lautan” karya Rustam Effendi
adalah imajinasi visual, imajinasi taksil dan imanjinasi auditif.
11. Kedua-dua penyair banyak
menggunakan kata-kata konkret dalam puisinya dan tidak dapat digantikan dengan
kata-kata lainnya. Karena bila diganti, akan merusak keindahan puisi.
12. Makna kias yang digunakan W. S.
Rendra dalam puisi “Lautan” adalah personifikasi, perbanding (simile), dan
polysindeton. Sedangkan Rustam Effendi menggunakan makna kias yaitu
personifikasi dan retoris. Makna lambang yang digunakan W. S. Rendra dalam
puisi “Lautan” adalah lambang suasana, lambang benda, lambang warna, sedangkan
puisi “Lautan” karya Rustam Effendi menggunakan lambang bunyi, lambang suasana
dan lambang benda.
13. Rima dan ritme dalam puisi
“Lautan” karya W. S. Rendra adalah rima bebas sedangkan rima pada puisi
“Lautan” karya Rustam Effendi adalah rima cacophony.
14. Persamaan yang terdapat pada
struktur fisik kedua-dua puisi tersebut adalah :
a.
Pada
unsur imajinasi, kedua-dua puisi “Lautan” tersebut sama-sama mengandung
imajinasi visual.
b.
Pada
unsur tipografinya, kedua penyair menggunakan tipografi konvensional dimana
puisinya disusun tanpa membantuk gambar atau bentuk tertentu lainnya.
15. Persamaan yang terdapat pada
struktur batin puisi tersebut terdapat pada unsur nada. Kedua penyair melalui
puisinya sama-sama bernada mengkritik.
16. Perbedaan yang terdapat pada
struktur fisik kedua-dua puisi tersebut terdapat diksi, imajinasi, kata
konkrit, bahasa viguratif dan versifikasi. Masing-masing penyair menyusun
kelima unsur tersebut sesuai dengan versinya dan ide yang hendak disampaikan.
17. Perbedaan struktur batin yang
terdapat pada kedua-dua puisi tersebut terdapat perbedaan pada unsur tema, rasa
dan amanat.
18. Setiap individu seperti halnya W.
S. Rendra dan Rustam Effendi mempunyai pandangan yang berbeda tentang kata
“Lautan” masing-masing mereka menafsirkan sesuai dengan pandangan dan
pengamatannya.
B. Saran
Berdasarkan
kesimpulan di atas, maka penulis melalui penelitian ini menyarankan :
1.
Agar
di sekolah-sekolah lebih digiatkan pengapresiasian tentang karya sastra karena
merupakan salah satu pelestarian karya sastra.
2.
Kepada
guru-guru bahasa Indonesia, agar pengajaran sastra dan apresiasinya lebih
ditingkatkan, agar siswa memahami bahwa sastra adalah gambaran masyarakatnya.
3.
Kepada
pemerintah diharapkan, agar memperhatikan alokasi waktu yang seimbang atas
pengajaran karya sastra, mengingat bahwa karya sastra itu memiliki ruang
lingkup yang luas dan memerlukan pemikiran yang serius serta kritis.
4.
Hendaknya
pemerintah mengusahakan penyediaan buku-buku yang membicarakan tentang sastra
khususnya puisi kemudian menyalurkannya ke sekolah-sekolah sebagai bahan ajar
serta melengkapi perpustakaan dengan buku-buku yang berhubungan dengan sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar